Selasa, 23 April 2024

Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam Abad 19-20

 


Dalam mengkaji perjalanan historis umat Islam khususnya pada abad 19 dan

20 didapatkan beberapa latar belakang terjadinya pembaharuan pendidikan Islam pada abad itu yaitu:

a)   Kondisi internal dunia pendidikan Islam pada zaman tersebut, termasuk kondisi muslim pada umumnya.

b)   Terjadinya kontak antara Islam dengan Barat.

 

Latar pertama: Dapat dikaji dari sejarah intelektual dan pendidikan Islam masa awal sampai zaman pertengahan Islam. Keberadaan institusi Pendidikan Islam sejalan dengan kemunculan Islam itu sendiri. Institusi ini berkembang seperti kuttab dan masjid. Bila kita mengambil pengertian kuttab adalah lembaga pendidikan dasar


yang mengajarkan tulis baca, berhitung dan dasar-dasar agama. Mesjid adalah lembaga pendidikan semenjak masa paling awal Islam.

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari diskursus keilmuan yang berkembang yang mengadakan pembedaan-pembedaan pengetahuan tertentu, misalnya antara ilmu teoritis dan praktis, ilmu yang universal (kully). Dan pembedaan yang paling penting antara ilmu agama (al-ilmu al-syar’iyah) atau ilmu –ilmu tradisional (al-ulum al aqliyah) dengan ilmu-ilmu rasional atau sekuler (al-ulum al-aqliyah atau ghair Syar’iyah).

Dalam Islam sesungguhnya tidak diketahui pembedaan-pembedaan antara ilmu agama dan ilmu profan seperti tersebut di atas. Semua pengetahuan dalam Islam pada akhirnya bermuara pada Allah Swt. Namun pada prakteknya, kelompok pokok pengetahuan agama lebih mendominasi dibanding dengan kelompok al-ulum ghair syar’iyah.

Perkembangan tradisi pemikiran terutama perspektif umat Islam terhadap permulaan ilmu pengetahuan tersebut membawa dampak bagi dunia pendidikan Islam pada umumnya. Sehingga institusi-institusi pendidikan Islam pada akhirnya hanya berfungsi sebagai wadah konservasi yang tentu saja kehilangan kreasi pengembangannya.

Sebelum kehancuran theologi Mu’tazilah pada masa khalifah Abbasiyah al- Makmun, mempelajari ilmu-ilmu umum yang bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris bukan sesuatu yang tidak ada dalam kurikulum Madrasah tetapi dengan “pemakruhan” untuk tidak menyebut “pengharaman”. Penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu‟tazilah. Ilmu-ilmu umum yang sangat dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum Madrasah mereka yang cenderung dan masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu, terpaksa mempelajari secara sendiri-sendiri atau bahkan di bawah tanah, karena mereka dipandang sebagai ilmu-ilmu “subversif” yang dapat dan akan menggugat mengganggu stabilitas doktrin sunni. Pada waktu yang sama, sain mengalami transmisi ke dunia Barat (Eropa) yang kemudian melahirkan revolusi industri dan membawa mereka kepada kemajuan.

Dengan demikian dapat digambarkan bahwa akar keterbelakangan dunia Islam dalam bidang sains dan teknologi dapat dilacak dari hilangnya sains dari tradisi


intelektual dan pendidikan Islam. Kondisi semacam itu tidak lepas dari kondisi sosial keagamaan masyarakat muslim secara keseluruhan pada abad pertengahan, hilangnya pemikiran rasional dan digantikan dengan pemikiran statis, taklid, bid’ah dan khurafat menjadi ciri dunia Islam saat itu.

Dalam kontek ke-Indonesian pembaharuan pendidikan Islam menurut Karel A Steenbrink dilatarbelakangi oleh:

a)    Faktor keinginan untuk kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits

 

b)   Faktor semangat nasionalisme dalam melawan penjajah

 

c)    Faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik

 

d)   Faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.

 

Dari gambaran sejarah secara umum diketahui bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia abad 19 dan 20 dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah pada akhir abad ke-19, khususnya Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh. Kedua tokoh ini merupakan tokoh sentral dalam menyalakan api pembaharuan pada akhir abad ke-19 di hampir seluruh dunia Islam. Pemikiran dan usaha mereka bertumpu pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal sehingga keharusan ijtihad tidak pernah tertutup. Meskipun sikap politik mereka secara tegas menunjukkan anti Barat karena praktek penjajahan yang dilakukannya terhadap Negara-negara Islam, Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh memberi dukungan kepada umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih luas sebagaimana sudah dialami juga terlebih dahulu oleh sebagian besar Negara-negara Barat. Dalam hal inilah mereka menyerukan penataan sistem kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan termasuk pendidikan.

Gerakan Jamaluddin Al-Afgani dengan Pan Islamismenya mempunyai dua tujuan utama yaitu membangun dunia Islam di bawah satu pemerintahan dan mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam. Ia melihat diantara sebab kemunduran umat Islam adalah lemahnya persaudaraan antara sesama umat Islam. Oleh sebab itu harus dibangun solidaritas umat Islam sedunia (Pan Islamisme) sehingga umat Islam berada dalam pemerintahan yang demokratis. Dengan cara


demikian umat Islam akan memperoleh kemerdekaannya kembali dan penjajah Barat atas dunia Islam dapat dienyahkan. Tentang dunia Nasrani, al-Afgani berpendapat, sekalipun mereka berlainan keturunan dan kebangsaan, namun mereka bersatu dalam menghadapi dunia Islam. Mereka sengaja menghalang-halangi kebangkitan umat Islam dan apa yang dikatakan nasionalisme dan patriotisme serta cinta tanah air bagi dunia Barat tetapi untuk dunia Islam mereka katakan sebagai fanatisme, ekstrimisme dan chauvinisme. Oleh sebab itu tidak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali bersatu melawan penjajahan Barat Nasrani tersebut.

Sedangkan tujuan dari gerakan Muhammad Abduh adalah pemurnian amal perbuatan umat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, pembaharuan dalam bidang pendidikan, perumusan kembali ajaran Islam menurut pikiran modern serta penolakan terhadap pengaruh Barat dan Nasrani. Muhammad Abduh menyerukan agar umat Islam kembali kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits serta kehidupan salaf al-soleh. Menurutnya Islam adalah ibadah dan muamalah. Dalam soal ibadah tidak perlu dilakukan ijtihad tetapi dalam soal muamalah diperlukan interpretasi baru sesuai dengan perubahan keadaan sekarang. Ilmu pengetahuan modern (Barat) berdasarkan sunnatullah (hukum alam), karenanya tidak bertentangan dengan Islam, untuk itu umat Islam perlu merombak sistem pendidikan baik metode maupun kurikulumnya. secara berangsur-angsur menjadi lebih terbuka menerima institusi dan gagasan Eropa. Rinkes, penasehat Belanda untuk masyarakat pribumi dan Arab, mencatat perubahan tersebut sekitar tahun 1912 pada saat dimulainya era pergerakan.

Antara tahun 1903 dan 1915, atas inisiatif Jamiat Kheir banyak sekolah Arab- Islam modern yang berdiri, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sekolah ini juga menarik banyak para siswa dari masyarakat pribumi dan mereka cenderung untuk masuk sekolah secara bergantian, hal ini terpaksa dilakukan karena keterbatasan pengajar dan tempat. Masyarakat pribumi memasukkan anaknya ke sekolah Arab modern dengan pertimbangan agar anak mereka mendapatkan pendidikan modern, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kalangan elite Arab. Pada awalnya, sebagian besar masyarakat Arab menentang inovasi bidang pendidikan. Meskipun demikian arus sekolah yang modern terus menekan yang lama kelamaan masyarakat dapat menerimanya dan akhirnya masyarakat Arab menyadari pentingnya institusi ini dalam memperkuat identitas dan posisi sosial ekonomi mereka.


Sistem pendidikan modern pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah, yang pada mulanya adalah dalam rangka memenuhi tenaga-tenaga ahli untuk kepentingan pemerintah dengan menggunakan kurikulum dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sedangkan sistem pendidikan tradisional yang merupakan sisa- sisa dan pengembangan sistem zawiyah, ribat atau pondok pesantren yang telah ada di kalangan masyarakat pada umumnya tetap mempertahankan kurikulum tradisional yang hanya memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan pola pendidikan inilah yang selanjutnya mewarnai pendidikan Islam di semua negara dan masyarakat Islam di zaman modern. Dualisme ini pula yang merupakan problema pokok yang dihadapi oleh usaha pembaharuan pendidikan Islam.

Jamiat Kheir sebagai lembaga pendidikan modern pertama mempelopori keterpaduan antara kedua sistem tersebut, dengan cara memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern. Selanjutnya perkumpulan ini menjadi contoh bagi sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi- organisasi Islam lain, sehingga sistem pendidikan tradisional akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern.

Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir pembaharuan pendidikan Islam, yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni, sebagaimana dipelopori oleh al-Afgani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Sampai sekarang proses pemaduan antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam ini, tampak masih berlangsung di kalangan masyarakat Islam Indonesia.

Jamiat Kheir membangun sekolah bukan semata-mata bersifat agama tapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama, berhitung, sejarah, ilmu bumi dan bahasa pengatar Melayu. Bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda. Sedangkan pelajaran bahasa Arab sangat ditekankan sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam.

Dilihat dari pelaksanaan program pendidikannya, Jamiat Kheir telah melakukan beberapa langkah pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama, pembaharuan dalam bidang organisasi dan kelembagaan. Hal ini tampak pada perlunya dan semacam organisasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Kelengkapan


itu semakin jelas ketika terbentuknya yayasan pendidikan Jamiat Kheir, yang sekaligus mengesahkan sistem pengajaran klasikal seperti bangku, papan tulis dan tentunya ruang belajar yang menyamai kelengkapan sarana sekolah-sekolah pemerintah ketika itu.

Kedua, pembaharuan dalam aspek kurikulum dan metode mengajar. Saat-saat institusi pendidikan Islam masih menerapkan sistem pengajaran pesantren dan surau, Jamiat Kheir mulai melangkah ke sistem pengajaran klasikal (sekolah). Kurikulum yang digunakan merupakan perpaduan antara kurikulum sekolah pemerintah (mata pelajaran umum) dan kurikulum agama (mata pelajaran agama). Langkah-langkah pembaharuan pendidikan yang seperti itu pulalah pada hakikatnya yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh di Mesir sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.

.
Terjemahan Al-qur'an per Kata

Donasi Dakwah

Donasi Dakwah "Mutsla"

Menebar Manfaat kepada sesama

Donasi ke :
Bank Muamalat no rek 7010115446
Bank BCA no rek 2140695397
a.n Syahroni Nur Wachid

Konfirmasi transfer ke : 082131174151
"Nama-Asal-Jumlah"

Donasi Dakwah Mutsla, menebar manfaat kepada sesama

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages

Syahroni Template

Kabartabligh.com mengabarkan dakwah islam

Kunjungi Kami