Selasa, 23 April 2024

Tokoh Dalam Pembaharuan Pendidikan Islam


 


A)  Syekh Muhammad Abduh

 

Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).

Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya, pada tahun1862 ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta. Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya. Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi di Al-Azhar di Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia mulai membuat karangan untuk harian Al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen Al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.

Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek,

yaitu:

 

Pertama, aspek kebebasan, antara lain dalam usaha memperjuangkan cita- cita pembaharuannya, Muhammad Abduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan.

Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya.

Ketiga, aspek keagamaan, dalam masalah ini Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka.


Dalam artian umum ijtihad adalah upaya intelektual yang sungguh-sungguh untuk mencapai satu pandangan tertentu tentang agama.

Keempat, aspek pendidikan antara lain, Al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan, demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya.

Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal di luar kepala perlu diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.

 

 

B)  Rasyid Ridha

 

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah Al-Wataniah Al- Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli.[19]

Di Madrasah ini, selain bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.

Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya, terutama dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab


yang membawa kemunduran ummat Islam karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.

Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal itu lebih tinggi akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Keistimewaan akal tergantung pada keistimewaan instrinsik ilmu, artinya oleh karena ilmu itu secara instrinsik adalah sesuatu yang istimewa, maka segala sesuatu yang memfasilitasi pengembangan ilmu adalah juga istimewa.[20] Diantara aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di Kairo.

Para lulusan dari sekolah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan bantuan mereka. Kemudian melalui majalah Al-Manar ia menjelaskan bahwa Inggris dan Prancis yang berusaha membagi-bagi daerah Arab ke dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat Islam ke dalam satu system pemerintahan yang tunggal karena khalifah hanya menciptakan hukum perundang- undangan dan menjaga pelaksanaannya.

Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham ummat Islam karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh tetapi dalam hal pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding Rasyid Ridha.

Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-paham teologi dan juga dalam Tafsir Al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.[21]


Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354/ 22 Agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.

.
Terjemahan Al-qur'an per Kata

Donasi Dakwah

Donasi Dakwah "Mutsla"

Menebar Manfaat kepada sesama

Donasi ke :
Bank Muamalat no rek 7010115446
Bank BCA no rek 2140695397
a.n Syahroni Nur Wachid

Konfirmasi transfer ke : 082131174151
"Nama-Asal-Jumlah"

Donasi Dakwah Mutsla, menebar manfaat kepada sesama

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages

Syahroni Template

Kabartabligh.com mengabarkan dakwah islam

Kunjungi Kami